Sabtu, 20 Juni 2009

जोग्राफी देसा कोटा


Dalam upaya mencapai keberhasilan tujuan pembangunan wilayah pedesaan saat ini, secara umum kita dihadapkan pada banyak tantangan yang sangat berbeda sifatnya dibandingkan pada masa-masa yang lalu. Tantangan pertama berkaitan dengan kondisi eksternal seperti perkembangan internasional yang berhubungan dengan liberalisasi arus investasi dan perdagangan global. Sedangkan yang kedua bersifat internal, yaitu yang berkaitan dengan perubahan kondisi makro maupun mikro dalam negeri. Tantangan internal disini dapat meliputi transformasi struktur ekonomi, masalah migrasi spasial dan sektoral, ketahanan sandang pangan, masalah ketersediaan lahan pertanian, masalah investasi dan permodalan, masalah, iptek, SDM, lingkungandan, masih banyaklagi.
Proses transformasi suatu wilayah pedesaan menjadi suatu daerah agroindustri secara ilmiah telah banyak diulas peneliti dan akademisi dan menjadi tuntutan nyata dalam proses perkembangan modernisasi masyarakat pertanian, karena kegiatan pertanian berada di wilayah pedesaan. Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu. Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
II.1 Kondisi Umum Pembangunan Perdesaan
Pada hakikatnya pembangunan adalah proses meningkatkan kualitas segenap bidang kehidupan masyarakat serta pengelolaan sumberdaya alam dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pembangunan nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang adil dan merata. Selama lebih tiga puluh tahun, pembangunan nasional yang mengedepankan pada pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi, ternyata belum berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke arah pencapaian tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan dengan dipicu pula oleh krisis moneter tahun 1998 yang kemudian berimbas pada krisis nasional, telah menimbulkan persoalan-persoalan baru. Salah satu di antaranya adalah disparitas dan ketidakadilan yang membebani masyarakat di pedesaan, di mana masyarakat perdesaan memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal diperkotaan. Padahal sebagian besar penduduk Indonesia persebarannya berada di perdesaan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk miskin Indonesia juga berada di wilayah perdesaan.
Dengan demikian, perdesaan sebagai tempat persebaran sebagian besar masyarakat Indonesia mempunyai peranan yang cukup besar dalam menopang perekonomian bangsa dan sekaligus indikator bagi keberhasilan pembangunan nasional. Sehingga ke depan, perhatian khusus terhadap perdesaan dengan melakukan pembangunan perdesaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat perdesaan sesuai dengan semangat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu, pembangunan perdesaan dikonsentrasikan pada dua bidang pokok yaitu pembangunan fisik dan pembangunan non fisik. Pembangunan fisik perdesaan antara lain meliputi sarana dan prasarana pemerintahan, jalan dan jembatan, pasar, pertanian, waduk dan irigasi, bank desa atau lembaga keuangan lainnya, transportasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air bersih, sanitasi, dan lain-lain. Sedangkan pembangunan non fisik perdesaan antara lain seperti pembangunan sumber daya manusia, pelayanan jasa permintahan, pelayanan sosial, penataan permukiman, kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat serta budaya. Dan yang lebih penting bahwa Penyelenggaraan pembangunan perdesaan dilakukan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good government), sehingga pelaksanaannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Sampai saat ini karakteristik kawasan perdesaan masih dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman. Kegiatan ekonomi di perdesaan sebagian besar masih didominasi oleh sektor pertanian (primer). Hal ini terlihat dari pangsa tenaga kerja sektor pertanian di perdesaan yang masih besar, yang mencapai 64,6 persen pada tahun 2005 (Sakernas 2005), meskipun menurun dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 67,7 persen (Sakernas, 2003).
Keterbatasan akses petani terhadap lahan dan sumber daya ekonomi lainnya terutama permodalan berakibat pada menurunnya produktivitas pertanian sehingga bermuara pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan pada umumnya. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan semakin melebarnya jurang ketimpangan desa-kota. Untuk mengatasi permasalahan tersebut RPJM Nasional 2004–2009 mengamanatkan, antara lain, perlunya dikembangkan kegiatan ekonomi non pertanian di perdesaan untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih produktif bagi masyarakat perdesaan serta diversifikasi usaha pertanian ke arah komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi.
Dalam tahun 2006, upaya untuk mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi di perdesaan ditempuh melalui kebijakan antara lain penguatan keterkaitan kegiatan pembangunan kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan dalam sebuah kesatuan wilayah pengembangan ekonomi lokal, promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya, perluasan akses masyarakat terutama kaum perempuan ke sumber daya produktif, peningkatan prasarana dan sarana perdesaan, meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta pengembangan praktek-praktek budidaya pertanian dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan. Pada akhir tahun 2006 diharapkan antara lain sebanyak 94 kawasan agropolitan di 94 kabupaten telah berkembang dan memperoleh dukungan prasarana dan sarana penunjang seperti jalan poros desa, jalan usaha tani, air bersih, pasar/kios pertanian, gudang dan lantai jemur; sekitar 30 ribu sambungan telepon baru telah terpasang di sebanyak 20 ribu desa melalui program USO; cakupan layanan air minum perpipaan untuk masyarakat perdesaan meningkat menjadi 12 persen; dan rasio elektrifikasi perdesaan mencapai 80,4 persen.
A. Sasaran Pembangunan Perdesaan
Salah satu sample sasaran pembangunan yang dapat dipaparkan yakni sasaran pembangunan ditahun 2006. sasaran utama yang hendak dicapai dalam pembangunan perdesaan adalah terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah pengangguran. Di samping itu, terkait dengan upaya menciptakan kawasan perdesaan yang produktif dan layak huni pembangunan perdesaan juga memiliki sasaran-sasaran khusus sebagai berikut:
1. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat perdesaan yang ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk miskin serta meningkatnya taraf pendidikan dan kesehatan, terutama perempuan dan anak;
2. Meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur di kawasan permukiman di perdesaan yang ditandai dengan antara lain:
(i) Meningkatnya optimalisasi jaringan irigasi dan pengairan lainnya.
(ii) Meningkatnya prasarana jalan perdesaan, terutama yang menghubungkan dengan perkotaan terdekat.
(iii) Selesainya pembangunan 30.615 sambungan telepon di 2.185 desa melalui program USO.
(iv) Selesainya pembangunan pusat informasi masyarakat (community access point), dan, berfungsinya kantor pos sebagai pusat informasi masyarakat.
(v) Meningkatnya rasio elektrifikasi perdesaan menjadi sebesar 80,4 persen.


(vi) Meningkatnya cakupan pelayanan air minum perpipaan untuk penduduk perdesaan hingga 12 persen.
(vii) meningkatnya persentase rumah tangga perdesaan yang telah memiliki jamban.
3. Meningkatnya akses, kontrol dan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam kegiatan pembangunan perdesaan yang ditandai dengan terwakilinya aspirasi semua kelompok masyarakat dan meningkatnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan.
B. Arah Kebijakan Pembangunan Perdesaan
Pada sample sasaran pembangunan untuk tahun 2006, kebijakan pembangunan perdesaan akan diarahkan pada:
1. Mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi non pertanian dengan memperkuat keterkaitan sektoral antara pertanian, industri dan jasa penunjangnya serta keterkaitan spasial antara kawasan perdesaan dan perkotaan.
2. Menggalakkan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya untuk meningkatkan kontinuitas pasokan, khususnya ke pasar perkotaan terdekat serta industri pengolahan berbasis sumber daya local.
3. Memperluas akses masyarakat, terutama kaum perempuan, ke sumber daya produktif untuk pengembangan usaha seperti lahan, permodalan, informasi, teknologi dan inovasi.
4. Meningkatkan prasarana dan sarana perdesaan serta akses masyarakat ke pelayanan public.
5. Meningkatkan kapasitas masyarakat perdesaan untuk dapat menangkap peluang pengembangan ekonomi serta memperkuat kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerjasama untuk memperkuat posisi tawar.
6. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan risiko kerentanan baik dengan mengembangkan kelembagaan perlindungan masyarakat petani maupun dengan memperbaiki struktur pasar yang tidak sehat (monopsoni dan oligopsoni).
7. Mengembangkan praktek-praktek budidaya pertanian dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan daya dukung lingkungan.

II.2 Perspektif Pembangunan Wilayah Pedesaan
Proses transformasi suatu wilayah pedesaan menjadi suatu daerah agroindustri secara ilmiah telah banyak diulas peneliti dan akademisi dan menjadi tuntutan nyata dalam proses perkembangan modernisasi masyarakat pertanian, karena kegiatan pertanian berada di wilayah pedesaan. Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu. Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
A. Melepas Ketergantungan Desa dari Luar
Untuk menelaah hubungan ekonomi antara suatu wilayah, kita bisa mengutip pendapat seorang pemikir strukturalis, Galtung. Ia membedakan antara centre yang merupakan pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran (periphery) yang terkebelakang. Hal ini berlaku untuk hubungan keluar ataupun didalam suatu negara. Hubungan yang dihasilkan tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di pusat-pusat secara keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah pinggiran. Tanpa disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita menggambarkan konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestik yang timpang. Desa telah menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat pembangunan di kota. Prospek ekonomi rakyat pedesaan sangat dikhawatirkan akan bertambah suram pada masa yang akan datang, jika perilaku elit kekuasaan di seluruh tingkatan tidak mengalami perubahan pola pikir pemihakan terhadap rakyat di desa.
Dalam tulisannya Arief mengemukakan bahwa urbanisasi penduduk dari sektor pertanian di pedesaan berlangsung akibat adanya investasi dari sektor manufaktur dan jasa yang selama ini masih terfokus di kota/pusat. Ketika kegiatan di kota memberikan tawaran imbalan tinggi kepada penduduk desa yang berpindah, sementara itulah sektor pertanian akan mengalami kelangkaan relatif pekerja. Seiring dengan itu pula, interaksi antar aktor-aktor ekonomi, antar maupun intra sektor, telah menambah keruh keadaan dengan adanya pengambilan keputusan politik yang tidak berpihak kepada rakyat di desa. Sehingga, sektor pertanian, dimana sebagian besar bangsa kita menggantungkan hidupnya, jauh dari perannya sebagai pondasi pembangunan yang sesungguhnya. Dilain sisi, sektor manufaktur semakin tidak memiliki linkage dengan sektor primer, yaitu pertanian. Ini bisa kita lihat dari besaran volume total impor produk barang primer Indonesia yang semakin meningkat sejak awal 70-an sampai saat ini. Justru ketergantungan kita akan produk barang primer dari luar negri bertambah tinggi.

Pergeseran sistem perdagangan internasional komoditas pertanian menuntut kemampuan sektor pertanian kita untuk mampu bersaing menghadapi kekuatan agribisnis multinasional yang selama ini telah menguasai pasar. Dimana dari hasil studi yang dilakukan oleh FAO tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil pertanian masih didominasi oleh negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa, Australia dan Kanada dengan pangsa pasar sekitar 86% sedangkan total dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia baru berkontribusi 14%. Saat ini kita dihadapkan kenyataan tingkat pertumbuhan sektor pertanian yang sangat rendah dan meluasnya jumlah penduduk yang menggantungkan hidup di sektor informal musiman, akhirnya menyebabkan efek kemiskinan sosial meluas. Situasi shared poverty atau involusi seperti yang digambarkan oleh Geertz [4] yang terjadi sejak lama di pedesaan kita sekarang ini makin nyata. Bila kita tidak memiliki strategi yang jelas dalam pengembangan potensi pedesaaan jangka panjang, hal ini sangat membahayakan. Penerapan ideologi liberalisasi perdagangan internasional yang disertai liberarisasi arus investasi asing dalam kerangka WTO, APEC ataupun organisasi internasional lainnya dalam situasi likuiditas internasional Indonesia yang belum sehat seperti sekarang, dapat membawa pengaruh negatif dalam pengembangan industri lokal dan menambah beban ekonomi rakyat khususnya di desa. Kekuatan ekonomi domestik, secara substansial, akan tergeser keluar. Rakyat di desa dan Indonesia secara keseluruhan akan memasuki fase ketergantungan yang lebih dahsyat kepada orang luar, atau secara sistematis akan menjadi buruh di atas tanah sendiri.
B. Agroindustri dalam Membangun Pedesaan
Integrasi antara konsep agroindustri dan pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani.
Wibowo mengemukakan perlunya pengembangan agroindustri di pedesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya:
(1) Memacu keunggulan kompetitif produk/komoditi serta komparatif setiap wilayah.
(2) Memacu peningkatan kemampuan suberdaya manusia dan menumbuhkan agroindustri yang sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan.
(3) Memperluas wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan.
(4) Memacu pertumbuhan agribisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsitem agribisnis
(5) Menghadirkan berbagai saran pendukung berkembangnya industri pedesaan.
Untuk mengaktualisasikan secara optimal strategi tersebut di atas, perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap pembangunan wilayah. Pengalaman yang sangat berharga bagi kita selama ini menjelaskan bahwa program pembangunan desa kurang terkoodinasi dalam suatu sistem yang baik dalam konteks sumberdaya maupun secara fungsional seringkali kurang menjamin dalam tiga hal endurance (daya tahan), integrity (keutuhan) dan continuity (kesinambungan).
Pembangunan pertanian haruslah sinergi dari pembangunan wilayah pedesaaan dimana memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan poin tersebut, dapat dipaparkan bahwa industrialisasi pertanian seharusnya membawa cakrawala baru dalam pembangunan pedesaan. Meningkatkan produktivitas pertanian harus diikuti oleh peningkatan investasi dalam pertanian modern beserta industri pengolahan dan sektor jasa lainnya di desa. Pengembangan kawasan potensial dengan basis pedesaan sebagai pusat pertumbuhan akan mentransformasikan pedesaan menjadi kota-kota pertanian (agropolitan). Perkotaan pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi antar wilayah secara sehat yang dapat menimbulkan aspek positif lainnya yaitu mengurangi arus urbanisasi penduduk. Di samping nilai tambah produksi pedesaan akan meningkat, industrialisasi juga akan mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di desa, dan mendorong mereka untuk tetap bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya, yang juga sebagai pusat-pusat pertumbuhan.
C. Pembangunan Desa yang Berkelanjutan
Dalam situs Walhi tentang pembangunan berkelanjutan, dipaparkan bahwa bahwa pembangunan yang berkelanjutan dapat diartikan secara luas sebagai kegiatan-kegiatan di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa sekarang tanpa membahayakan daya dukung sumberdaya bagi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana.
Arus globalisasi yang semakin kuat perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah ketimpangan sumberdaya. Kebijakan pembangunan harus memberi perhaatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan aset-aset di wilayah pedesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem. Walaupun wawasan agroekosistem merupakan sesuatu pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis.
Wibowo mengungkapkan empat aspek umum ciri-ciri spesifik terpenting mengenai konsep agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya. Dimasa yang akan datang, dalam konteks pembangunan pedesaan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya di desa haruslah dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan model pemanfaatan sumberdaya yang efisien.
Maka untuk emandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Perubahan kondisi internal dan ekternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya pengembangkan potensi wilayah pedesaan. Sudah saatnya menjadikan desa sebagai pusat-pusat pembangunan dan menjadikan daerah ini sebagai motor utama penggerak roda perekonomian melalui sektor pertanian.
Pengembangan agroindustri sebagai pilihan model modernisasi pedesaan haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Agar model pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dapat terwujud diperlukan pedoman pengelolaan sumberdaya melalui pemahaman wawasan agroekosistem secara bijak, yaitu pemanfaatan asset-aset untuk kegiatan ekonomi tanpa mengesampingkan aspek-aspek pelestarian lingkungan.
II.3 Rancangan Undang-undang Tentang Pembangunan Perdesaan
Dalam rancangan undang yang mengatur tentang pembangunan perdesaan ada berbagai pertimbangan yakni:
a. bahwa pembangunan perdesaan merupakan landasan pembangunan nasional untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang adil dan merata guna mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pembangunan perdesaan selama ini belum memperhatikan prinsip responsif, transparansi, dan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi sesuai dengan potensi dan budaya guna mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera;
c. bahwa pembangunan perdesaan saat ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan belum diatur dengan undang-undang tersendiri;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembangunan Perdesaan;
Maka, mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatas dan, Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBANGUNAN PERDESAAN.